Monday, 23 July 2012

KEK PERTAMBANGAN ANCAM KEANEKARAGAMAN HAYATI KAWASAN PEGUNUNGAN MEKONGGA

Program yang digagas oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional, dinilai menjadi ancaman bagi kelangsungan keanekaragaman hayati (Biodiversity) flora dan fauna terutama di kawasan Pegunungan Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara dan Kolaka.
Hal itu disampaikan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah, usai memberikan pelatihan Parataksonomi Flora dan Fauna Gunung Mekongga di Fakultas MIPA Unhalu Kendari beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Gunung Mekongga.
Menurutnya, jika kawasan pegunungan Mekongga dijadikan kawasan pertambangan terutama di bagian wilayah penelitian LIPI yang sementara belangsung hingga kini, maka apa yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai disipilin ilmu dalam penelitian ini menjadi sia-sia. “bukan hanya kita yang akan rugi, dunia international juga rugi karena projeck penelitian kami ini melibatkan dunia international, ada UC-Davis dari Amerika, dan penelitian ini sudah berlangsung selama tiga tahun,” Kata pakar serangga ini.
Rossi, panggilan akrab peneliti LIPI ini menjelaskan bahwa jika kawasan pegunungan Mekongga telah ditetapkan menjadi zona pertambangan yang masuk dalam program KEK Pertambangan Nasional seperti yang tengah dicanangkan oleh Gubernur Sultra, Nur Alam,  maka akan sangat mustahil menjadikan kawasan pegunungan Mekongga sebagai kawasan konservasi. “Kalau sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat karena adanya otonomi daerah, maka usulan dari siapapun akan sangat sulit digolkan, karena yang dipusatpun mempersilahkan kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan berdasarkan kewenangannya untuk menetapkan apa yang menurutnya menguntungkan daerahnya,”katanya.
Padahal menurut Rossi, pegunungan Mekongga kini tidak hanya dikenal didalam negeri tetapi sudah mendunia, baik karena keanekaragaman hayatinya, flora dan faunanya, maupun potensinya untuk dijadikan kawasan ekowisata. Dari hasil penelitian sementara LIPI kata Rossi, terdapat beberapa spesies yang endemik  Sulawesi di pegunungan Mekongga, bahkan ada yang hampir punah yang perlu mendapat perlindungan. “Untuk burung saja ada 15 spesies yang endemik, belum lagi serangga dan fauna lain, apalagi floranya. Ada satwa kebanggan Sulawesi Tenggara yaitu Anoa, serta satwa yang sudah terancam keberadaannya yaitu Tarsius, inikan suatu kekayaan yang luar biasa potensinya yang perlu mendapat perlindungan,”terangnya.
Rossi juga menjelaskan bahwa dalam hasil sampel penelitian mereka di pegunungan Mekongga, berdasarkan hasil analisa Laboratorium terdapat satu jenis pohon yang daunnya positif mengandung zat kimia untuk pengobatan penyakit kanker. “kalau pohon ini punah dan habis, apalagi kalau populasinya hanya berada di pegunungan Mekongga, maka akan merugikan umat manusia, sehingga kawasan ini perlu mendapat perlindungan,” harapnya.
Senada dengan hal itu, salah satu peneliti dari Universitas California Davis (UC-DAVIS) Amerika serikat, Prof. Dr. Alan T. Hitch, yang juga menjadi peneliti di pegunungan Mekongga, mengatakan bahwa Mekongga sudah dirancang akan menjadi kawasan penelitian international bahkan rencananya akan dijadikan pusat konservasi studi keanekaragaman hayati.
“kalau sudah di tambang maka saya akan sangat sedih, apa yang diperjuangakan oleh teman-teman LIPI semuanya tidak ada gunanya. Mekongga cocoknya dijadikan kawasan konservasi, karena akan lebih menguntungkan dibanding dengan ditambang, selain daya rusaknya yang tinggi, dimana-mana tambang juga tidak pernah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal, kalaupun dipaksakan akan ditambang, pemerintah tentu harus duduk bersama dengan masyarakat lokal yang berada disekitar pegunungan Mekongga,”ungkapnya dalam bahasa Ingriss.
Sementara itu, Ketua Divisi Biologi LIPI, Prof. Dr. Eko Baroto Walujo, yang juga hadir sebagai pembicara dalam pelatihan Parataksonomi di Unhalu, mengatakan bahwa perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah setempat sebelum menetapkan suatu kawasan pertambangan, agar nantinya tidak terjadi konflik. “Mekongga mau ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau mau diapakan, itu kan tergantung dari pemerintah dan juga masyarakatnya. Kami hanya mengusulkan, sebaiknya dijadikan sebagai kawasan konservasi, karena kami menilai ada potensi penting didalamnya yang perlu dilindungi demi ilmu pengetahuan dan umat manusia,”jelasnya.
Eko juga menjelaskan bahwa kawasan koservasi tidak menutup segala akses bagi siapa saja, bahkan industri dan pertambangan pun bisa berjalan dalam zona kawasan konservasi, asalkan sesuai kaidah dan aturan yang sudah ditetapkan. “Akses terbuka bagi siapa saja, ada zonasi dalam kawasan konservasi yang industri pun bisa jalan didalamnya, bahkan tambang pun bisa, asalkan industri dan pertambangan yang clean, yang go green dan sesuai dengan konsep konservasi, semuanya ada aturannya,”tandasnya.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya