Program yang digagas oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, untuk
menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi Kawasan Ekonomi Khusus
(KEK) Pertambangan Nasional, dinilai menjadi ancaman bagi kelangsungan
keanekaragaman hayati (Biodiversity) flora dan fauna terutama di kawasan
Pegunungan Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara dan Kolaka.
Hal itu disampaikan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah, usai memberikan pelatihan
Parataksonomi Flora dan Fauna Gunung Mekongga di Fakultas MIPA Unhalu
Kendari beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Gunung Mekongga.
Menurutnya, jika kawasan pegunungan Mekongga dijadikan kawasan
pertambangan terutama di bagian wilayah penelitian LIPI yang sementara
belangsung hingga kini, maka apa yang dilakukan oleh para ahli dari
berbagai disipilin ilmu dalam penelitian ini menjadi sia-sia. “bukan
hanya kita yang akan rugi, dunia international juga rugi karena projeck
penelitian kami ini melibatkan dunia international, ada UC-Davis dari
Amerika, dan penelitian ini sudah berlangsung selama tiga tahun,” Kata
pakar serangga ini.
Rossi, panggilan akrab peneliti LIPI ini menjelaskan bahwa jika
kawasan pegunungan Mekongga telah ditetapkan menjadi zona pertambangan
yang masuk dalam program KEK Pertambangan Nasional seperti yang tengah
dicanangkan oleh Gubernur Sultra, Nur Alam, maka akan sangat mustahil
menjadikan kawasan pegunungan Mekongga sebagai kawasan konservasi.
“Kalau sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat karena adanya otonomi
daerah, maka usulan dari siapapun akan sangat sulit digolkan, karena
yang dipusatpun mempersilahkan kepada pemerintah daerah untuk mengambil
kebijakan berdasarkan kewenangannya untuk menetapkan apa yang menurutnya
menguntungkan daerahnya,”katanya.
Padahal menurut Rossi, pegunungan Mekongga kini tidak hanya dikenal
didalam negeri tetapi sudah mendunia, baik karena keanekaragaman
hayatinya, flora dan faunanya, maupun potensinya untuk dijadikan kawasan
ekowisata. Dari hasil penelitian sementara LIPI kata Rossi, terdapat
beberapa spesies yang endemik Sulawesi di pegunungan Mekongga, bahkan
ada yang hampir punah yang perlu mendapat perlindungan. “Untuk burung
saja ada 15 spesies yang endemik, belum lagi serangga dan fauna lain,
apalagi floranya. Ada satwa kebanggan Sulawesi Tenggara yaitu Anoa,
serta satwa yang sudah terancam keberadaannya yaitu Tarsius, inikan
suatu kekayaan yang luar biasa potensinya yang perlu mendapat
perlindungan,”terangnya.
Rossi juga menjelaskan bahwa dalam hasil sampel penelitian mereka di
pegunungan Mekongga, berdasarkan hasil analisa Laboratorium terdapat
satu jenis pohon yang daunnya positif mengandung zat kimia untuk
pengobatan penyakit kanker. “kalau pohon ini punah dan habis, apalagi
kalau populasinya hanya berada di pegunungan Mekongga, maka akan
merugikan umat manusia, sehingga kawasan ini perlu mendapat
perlindungan,” harapnya.
Senada dengan hal itu, salah satu peneliti dari Universitas
California Davis (UC-DAVIS) Amerika serikat, Prof. Dr. Alan T. Hitch,
yang juga menjadi peneliti di pegunungan Mekongga, mengatakan bahwa
Mekongga sudah dirancang akan menjadi kawasan penelitian international
bahkan rencananya akan dijadikan pusat konservasi studi keanekaragaman
hayati.
“kalau sudah di tambang maka saya akan sangat sedih, apa yang
diperjuangakan oleh teman-teman LIPI semuanya tidak ada gunanya.
Mekongga cocoknya dijadikan kawasan konservasi, karena akan lebih
menguntungkan dibanding dengan ditambang, selain daya rusaknya yang
tinggi, dimana-mana tambang juga tidak pernah memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat lokal, kalaupun dipaksakan akan ditambang, pemerintah
tentu harus duduk bersama dengan masyarakat lokal yang berada disekitar
pegunungan Mekongga,”ungkapnya dalam bahasa Ingriss.
Sementara itu, Ketua Divisi Biologi LIPI, Prof. Dr. Eko Baroto
Walujo, yang juga hadir sebagai pembicara dalam pelatihan Parataksonomi
di Unhalu, mengatakan bahwa perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan
pemerintah setempat sebelum menetapkan suatu kawasan pertambangan, agar
nantinya tidak terjadi konflik. “Mekongga mau ditetapkan sebagai kawasan
konservasi atau mau diapakan, itu kan tergantung dari pemerintah dan
juga masyarakatnya. Kami hanya mengusulkan, sebaiknya dijadikan sebagai
kawasan konservasi, karena kami menilai ada potensi penting didalamnya
yang perlu dilindungi demi ilmu pengetahuan dan umat manusia,”jelasnya.
Eko juga menjelaskan bahwa kawasan koservasi tidak menutup segala
akses bagi siapa saja, bahkan industri dan pertambangan pun bisa
berjalan dalam zona kawasan konservasi, asalkan sesuai kaidah dan aturan
yang sudah ditetapkan. “Akses terbuka bagi siapa saja, ada zonasi dalam
kawasan konservasi yang industri pun bisa jalan didalamnya, bahkan
tambang pun bisa, asalkan industri dan pertambangan yang clean, yang go
green dan sesuai dengan konsep konservasi, semuanya ada
aturannya,”tandasnya.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentarnya