Sinonggi, Makanan Daerah yang Nikmat
Kehadiranya mulai diminati, sejumlah warung makan menjadikan Sinonggi sebagai menu utama.
Menyediakan Menu sinonggi dan makanan lainya….dengan harga murah.
Begitulah tulisan Plank papan nama yang tertera pada salah satu
warung di jejeran rumah makan di jalan Sorumba, sekitaran kampus
Universitas Muhammadiyah Kendari, Sulawesi Tenggara. Tempat ini memang
biasanya ramai pengunjung terlebih saat jam makan siang. Puluhan
pengunjung menempati bangku-bangku yang disediakan, menunggu semangkuk
Sinonggi panas beserta lauk berupa ikan palu mara, sayur bening, sambal
rica-rica dan potongan jeruk yang dihidangkan diatas meja.
Sejak rumah makan ini dibuka setahun lalu, Sinonggi sudah menjadi
salah satu menu andalan yang disajikan. Setiap harinya sekitar 4 karung
aci sagu dihabiskan untuk diolah menjadi menu Sinonggi. Agar pelanggan
tak bosan, menu campuran Sinonggi dibuat bervariatif. “Ada kuah daging
ayam dan sapi yang kami sediakan” tutur Ratih, Manager rumah makan.
Satu porsi paket Sinonggi ditempat ini berharga Rp.20.000 sampai
Rp.35.000 tergantung pada pilihan menu lauk, ikan, daging ayam, daging
sapi. Selain Sinonggi warung makan ini juga menyediakan menu masakan
rumahan. Rumah makan ini buka dari pukul 8 pagi sampai jam 10 malam.
Sinonggi dikenal sebagai salah satu makanan khas yang populer di Kota
Kendari terbuat dari bahan dasar aci alias saripati pohon Sagu (Metroxylon sp).
Untuk pembuatanya hanya dibutuhkan tepung sagu basah yang disiram
dengan air panas yang di didihkan dan diaduk pada wadah mangkuk atau
loyang dan hanya dalam hitungan menit tepung sagu putih berubah kenyal
dan bening, jadilah Sinonggi. Sepintas melihat Sinonggi tak ubahnya
seperti lem, bening dan lengket, rasanya pun tawar, sehingga dibutuhkan
campuran lain untuk menambah kelezatanya. Lauk yang gurih seperti ikan
palu mara, sayur bening dan campuran lauk lainya disantap bersama. Untuk
lebih menarik minat, campuran lauk Sinonggi pun di buat bervariatif
yang disesuaikan dengan selera. Agar rasanya lebih menggugah, umumnya
orang menyantapnya saat masih hangat.
Saat ini Sinonggi dikonsumsi hampir seluruh masyarakat Kota Kendari.
Awalnya Sinonggi hanya di konsumsi oleh masyarakat suku Tolaki yang
mendiami daratan dan pegunungan daerah Sulawesi Tenggara (Sultra).
Berdasarkan penuturan Drs. Muslimin Su’ud S.H, salah satu tokoh
masyarakat Tolaki yang juga ketua dewan pakar Lembaga Adat Tolaki (LAT)
Sultra, sebelum mengenal Sagu orang-orang Tolaki mengkonsumsi beras dari
padi ladang dan Uwi koro sejenis tanaman Ubi liar yang tumbuh di hutan sebagai bahan pangan mereka.
Barulah sekitar abad ke 7 masehi, orang Tolaki yang tinggal di
sekitaran sungai Sourere-Napooha, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka
yang kembali dari perantauan di Pulau Maluku membawa tanaman Sagu yang
selanjutnya dikembangkan oleh warga sebagai bahan makanan tambahan.
Seiring perjalanan waktu, perkembangan Sinonggi semakin luas dikonsumsi
masyarakat lokal. Ini terjadi karena adanya proses asimilasi dan
akulturasi masyarakat Tolaki dengan warga pendatang.
Tanaman Sagu dapat ditemukan hampir diseluruh daratan wilayah
Sulawesi Tenggara terutama pada daerah rawa dan sungai. Terdapat empat
jenis tanaman Sagu yang tumbuh di Sultra dengan nama local Tawaro rui (Metroxylon saguss, rottb), Tawaro runggamanu (Metroxylon rumpi, mart)
Tawaro roe dan Boruwilla. Dan jenis Sagu roe-lah yang lebih disukai dan
banyak diolah oleh warga setempat karena rasanya manis dan memiliki
warna tepung yang putih.
Analisis peneliti dari Jepang beberapa waktu lalu yang datang
melakukan riset tanaman Sagu di Sultra seperti yang di ungkapkan
Muslimin Su’ud, keunggulan tanaman Sagu di banding tanaman penghasil
karbohidrat lainya yakni, pohon sagu dapat tumbuh di daerah rawa dimana
tanaman lain tidak dapat berkembang dengan baik, panen sagu juga tidak
mengenal musim, pohon sagu mengeluarkan tunas baru tanpa harus ditanam
kembali sehingga panen dapat berkelanjutan dan pohon sagu tidak rentan
pada hama dan parasit.
Selain Sinonggi, menu lain yang bisa diolah dan dikembangkan dari aci
sagu adalah produk makanan jajanan dan snack, seperti bagea, dangi,
sako-sako, dan kue kering lainya. Produk-produk jajanan ini pun bahkan
menjadi oleh-oleh khas yang biasanya dicari pegunjung yang datang ke
kota Kendari.
Meski geliat kuliner yang terbuat dari bahan dasar Sagu di daerah ini mulai diminati masyarakat, sayangnya tanaman Sagu (Metroxylon sp)
mulai sulit ditemukan. Data Badan Pusat Statistik (BPS 2007), areal
tanaman Sagu yang ada berkisar 5.607 hektar. Kawasan tanaman Sagu
mengalami penurunan, dikarenakan tekanan pembangunan, areal tanaman Sagu
dikonversi menjadi lokasi pemukiman, areal persawahan, areal perkebunan
sawit dan yang terbesar adalah lokasi pertambangan.
Semakin berkurangnya areal tanaman Sagu di daerah ini, disinyalir
karena belum adanya komitmen kuat dari semua pihak terutama Pemerintah
Daerah, sehingga perlu strategi dalam upaya pengembangan potensi tanaman
Sagu di Sultra, ini seperti yang diungkapkan kembali oleh dewan pakar
lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra, Muslimin Su’ud. Ya, kekhawatiran
Muslimin Su’ud bukan tanpa alasan, kalau luasan tanaman Sagu berkurang
bukan tak mungkin, keragaman kuliner Sultra berupa Sinonggi dan kuliner
lain berbahan Sagu akan langka seiring berkurangnya areal tanaman Sagu.
[***]