Tuesday, 24 July 2012

KENDARI KOTA IDAMAN




tersebutlah kota kendari yang merupakan ibu kota dari Sulawesi Tenggara. memiliki para penduduk yang ramah, baik kepada orang asli maupun orang asing (Pendatang). meskipun termaksud daerah ibu kota sulawesi tenggara, namun kendari berbeda dari ibu kota - ibu kota besar lainnya. di kendari ini jarang terlihat kemacetan, dan angka kriminalitas sangatlah minim, dan disini juga terdapat tempat-tempat rekreasi yang sangat indah dan nyaman diantaranya yang sangat di gemari para penduduk asli maupun pendatang adalah permandian Batu Gong, Toronipa, Taipa dan masih banyak lagi tempat yang pasti dapat melepas stress karena kegiatan sehari-hari seperti kerja, kuliahan, sekolahan, dan sebagainya.
selain kendari, daerah di sulawesi tenggara masih banyak lagi kota ataupun kabupaten yang bisa dibilang sangat cocok untuk berekreasi maupun sekedar jalan-jalan. walaupun kabpaten atau kota tersebut bukan ibu kota Sulawesi Tenggara, namun, suasana Kependudukan maupun suasana alamnya sangatlah bersahabat dan pastinya keunggulan yang utama adalah Bebas Macet dan Minim Angka Kriminalitas.
Menara MTQ Kendari
Kota ataupun Kabupaten tersebut diantaranya Kabupaten Kolaka, Kota Unahaa, Kabupaten Mowewe, Kabupaten Bombana dan masih banyak lagi. tetapi yang sangat Di gemari di Sulawesi Tenggara adalah Kota Kendari dan Kabupaten Kolaka.
Pemerintahan yang Harmonis, Sapaan Warga setempat yang Sopan, dan suasana alam yang menenangkan adalah ciri khas dari Sulawesi tenggara.
selain dari permandian, adapun temmpat rekreasi sore yang sangatlah cocok untuk jalan-jalan disore maupun malam hari diantaranya KeBi (Kendari Bitch) yang terletak di Pusat Kota Kendari, sepanjang deretan Kendari Bitch (KeBi) tersebut dijajari oleh para penjual-penjual yang menyajikan aneka minuman dingin dan hangat serta makanan yang bisa dinikmati sambil menatap indahnya Sunsite di Sore hari.
adapun di bagian Kabupaten Kolaka terdapat Pantai Mandra, tempat yang paling di gemari oleh berbagai kalangan dari yang muda hingga yang tua untuk melepaskan Stress karena berbagai macam aktifitas sehari-hari.
jadi, buat para pengunjung Blog ini yang penasaran dengan keindahan Sulawesi Tenggara jangan Ragu buat Holiday di sini. karena disini tidak kalah bagusnya dengan daerah ibu kota-ibu kota lainnya yang ada di Indonesia, tapi harus di akui bahwa indonesia memiliki jutaan tempat yang menarik dan indah, dan Sulawesi Tenggara merupakan salah satunya.

Contac Person ::    +628234 6387 283 (Sudirman Saputra)
                            Jl. Bunga Tanjung Kelurahan Kemaraya Kota Kendari, Sulawesi Tenggara Indonesia

Monday, 23 July 2012

KEANEKARAGAMAN IKAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA


[Fish Diversity in Kendari Bay, Southeast Sulawesi] 









Published by :Sudirman Saputra


ABSTRACT
Research on fish diversity was carried out from August to October 2009 with three times of sampling in three stations in Kendari Bay, Southeast Sulawesi. Fish collection using experimental gillnets (with different mesh sizes ¾, 1, 1¼, 1½, 2, 3, and 4 inch) and seser (Ø 1 meter and mesh size 0.04 inch). During research, 45 species of 30 families were collected. Based on individual quantities, at the first sampling, Sardinella fimbriata was dominant species on Station I and II, S. longiceps on Station III; in the second sampling, S. fimbriata was dominant species on Station I, S. longiceps on Station II, Plotosus canius on S3; in the third sampling, Ambassis sp. was dominant species on Station I, S.longiceps on Station II, Upeneus suphureus and Stolephorus commersonii on S3. Diversity index (H’) was range between 0.51-2.25, dominance index (C) was range between 0.16-0.83 and evenness index (E) was range between 0.19-0.75.

Key words: fish diversity, Kendari Bay

DEKLARASI ASOSIASI TRADISI LISAN DI KENDARI


 Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia, Kamis, melahirkan sebuah kesepakatan keragaman budaya yang disebut dengan "Deklarasi Kendari" di Kendari, Sulawesi Tenggara.
"Deklarasi Kendari" ditandai penandatanganan naskah antara Ketua ATL Indonesia, Pudentia dan Rektor Universitas Haluoleo (Unhalu) Kendari Prof DR Ir Usman Rianse.
Deklarasi melibatkan etnis yang mendiami bumi Sulawesi Tenggara (Sultra), baik etnis lokal maupun etnis dari luar Sultra mulai dari Aceh sampai Papua yang ada di Sultra.
Deklarasi itu dilaksanakan dalam rangkaian pembukaan Workshop Internasional Cerebrating Dibersity (Perayaan Keragaman) yang dilaksanakan di Kendari.
Adapun etnis yang masuk dalam deklarasi itu diantaranya etnis Lokal Sultra yakni perwakilan etnis Tolaki, etnis Moronene, etnis Buton, etnis Muna, etnis Kalidupa, kemudian etnis dari luar Sultra yang mendiami Sultra seperti etnis Jawa, etnis Bugis, etnis Makassar, dan etnis Toraja.
Selain itu etnis Flores, etnis Lombok, etnis Banten, etnis Madura, etnis Sunda, etnis Bali, etnis Padang, etnis Batak, etnis Aceh, etnis Dayak, etnis Kutai, etnis Manado, etnis Bajo, etnis Ambon dan etnis Papua.
Ketua ATL Indonesia, Pudentia mengatakan, deklarasi ini salah satu tujuannya menyatukan berbagai etnis dalam satu bingkai kehidupan keragaman yang saling menghormati, membutuhkan serta menjadikan keragaman menjadi perekat kegidupan sosial budaya.
"Selain itu, kita inginkan agar kegiatan keragaman budaya yang kita lakukan setiap tahun tidak hanya berhenti dari hasil seminar budaya, tetapi ada aksi yangg kita lahirkan, salah satunya melahirkan deklarasi ini," katanya.
Sehinggaa kata Pudentia, berbagai etnis yang ada di daerah itu, bisa melanjutkan kegiatan keragaman budaya itu dalam berbagai ivent atau kegiatan sosial.
Dokumen Deklarasi Kendari itu katanya, kemudian diserahkan kepada UNESKO PBB melalui perwakilannya yang hadir dalam kegiatan itu, sebagai salah satu warisan keragaman budaya Indonesia.
"Kita Ingin menunjukan kepada dunia dan memberikan pesan kepada dunia, bahwa melalui keragaman budaya yang ada maka bisa menciptakan keharmonisan hidup dalam mengarungi kehidupan ini," katanya.
Melalui Deklarasi Kendari ini, kata Pudentia, maka bisa menjadi tameng terjadinya konflik yang mengarah kepada etnis di daerah ini. Dengan menanamkan budaya bahwa kita adalah satu Indonesia.

KEK PERTAMBANGAN ANCAM KEANEKARAGAMAN HAYATI KAWASAN PEGUNUNGAN MEKONGGA

Program yang digagas oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pertambangan Nasional, dinilai menjadi ancaman bagi kelangsungan keanekaragaman hayati (Biodiversity) flora dan fauna terutama di kawasan Pegunungan Mekongga, Kabupaten Kolaka Utara dan Kolaka.
Hal itu disampaikan oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Rosichon Ubaidillah, usai memberikan pelatihan Parataksonomi Flora dan Fauna Gunung Mekongga di Fakultas MIPA Unhalu Kendari beberapa waktu lalu sebelum berangkat ke Gunung Mekongga.
Menurutnya, jika kawasan pegunungan Mekongga dijadikan kawasan pertambangan terutama di bagian wilayah penelitian LIPI yang sementara belangsung hingga kini, maka apa yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai disipilin ilmu dalam penelitian ini menjadi sia-sia. “bukan hanya kita yang akan rugi, dunia international juga rugi karena projeck penelitian kami ini melibatkan dunia international, ada UC-Davis dari Amerika, dan penelitian ini sudah berlangsung selama tiga tahun,” Kata pakar serangga ini.
Rossi, panggilan akrab peneliti LIPI ini menjelaskan bahwa jika kawasan pegunungan Mekongga telah ditetapkan menjadi zona pertambangan yang masuk dalam program KEK Pertambangan Nasional seperti yang tengah dicanangkan oleh Gubernur Sultra, Nur Alam,  maka akan sangat mustahil menjadikan kawasan pegunungan Mekongga sebagai kawasan konservasi. “Kalau sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat karena adanya otonomi daerah, maka usulan dari siapapun akan sangat sulit digolkan, karena yang dipusatpun mempersilahkan kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan berdasarkan kewenangannya untuk menetapkan apa yang menurutnya menguntungkan daerahnya,”katanya.
Padahal menurut Rossi, pegunungan Mekongga kini tidak hanya dikenal didalam negeri tetapi sudah mendunia, baik karena keanekaragaman hayatinya, flora dan faunanya, maupun potensinya untuk dijadikan kawasan ekowisata. Dari hasil penelitian sementara LIPI kata Rossi, terdapat beberapa spesies yang endemik  Sulawesi di pegunungan Mekongga, bahkan ada yang hampir punah yang perlu mendapat perlindungan. “Untuk burung saja ada 15 spesies yang endemik, belum lagi serangga dan fauna lain, apalagi floranya. Ada satwa kebanggan Sulawesi Tenggara yaitu Anoa, serta satwa yang sudah terancam keberadaannya yaitu Tarsius, inikan suatu kekayaan yang luar biasa potensinya yang perlu mendapat perlindungan,”terangnya.
Rossi juga menjelaskan bahwa dalam hasil sampel penelitian mereka di pegunungan Mekongga, berdasarkan hasil analisa Laboratorium terdapat satu jenis pohon yang daunnya positif mengandung zat kimia untuk pengobatan penyakit kanker. “kalau pohon ini punah dan habis, apalagi kalau populasinya hanya berada di pegunungan Mekongga, maka akan merugikan umat manusia, sehingga kawasan ini perlu mendapat perlindungan,” harapnya.
Senada dengan hal itu, salah satu peneliti dari Universitas California Davis (UC-DAVIS) Amerika serikat, Prof. Dr. Alan T. Hitch, yang juga menjadi peneliti di pegunungan Mekongga, mengatakan bahwa Mekongga sudah dirancang akan menjadi kawasan penelitian international bahkan rencananya akan dijadikan pusat konservasi studi keanekaragaman hayati.
“kalau sudah di tambang maka saya akan sangat sedih, apa yang diperjuangakan oleh teman-teman LIPI semuanya tidak ada gunanya. Mekongga cocoknya dijadikan kawasan konservasi, karena akan lebih menguntungkan dibanding dengan ditambang, selain daya rusaknya yang tinggi, dimana-mana tambang juga tidak pernah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal, kalaupun dipaksakan akan ditambang, pemerintah tentu harus duduk bersama dengan masyarakat lokal yang berada disekitar pegunungan Mekongga,”ungkapnya dalam bahasa Ingriss.
Sementara itu, Ketua Divisi Biologi LIPI, Prof. Dr. Eko Baroto Walujo, yang juga hadir sebagai pembicara dalam pelatihan Parataksonomi di Unhalu, mengatakan bahwa perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah setempat sebelum menetapkan suatu kawasan pertambangan, agar nantinya tidak terjadi konflik. “Mekongga mau ditetapkan sebagai kawasan konservasi atau mau diapakan, itu kan tergantung dari pemerintah dan juga masyarakatnya. Kami hanya mengusulkan, sebaiknya dijadikan sebagai kawasan konservasi, karena kami menilai ada potensi penting didalamnya yang perlu dilindungi demi ilmu pengetahuan dan umat manusia,”jelasnya.
Eko juga menjelaskan bahwa kawasan koservasi tidak menutup segala akses bagi siapa saja, bahkan industri dan pertambangan pun bisa berjalan dalam zona kawasan konservasi, asalkan sesuai kaidah dan aturan yang sudah ditetapkan. “Akses terbuka bagi siapa saja, ada zonasi dalam kawasan konservasi yang industri pun bisa jalan didalamnya, bahkan tambang pun bisa, asalkan industri dan pertambangan yang clean, yang go green dan sesuai dengan konsep konservasi, semuanya ada aturannya,”tandasnya.

HIBURAN DAN WISATA

Sinonggi, Makanan Daerah yang Nikmat

 

Kehadiranya mulai diminati, sejumlah warung makan menjadikan Sinonggi sebagai menu utama.
Menyediakan Menu sinonggi dan makanan lainya….dengan harga murah.
Begitulah tulisan Plank papan nama yang tertera pada salah satu warung di jejeran rumah makan di jalan Sorumba, sekitaran kampus Universitas Muhammadiyah Kendari, Sulawesi Tenggara. Tempat ini memang biasanya ramai pengunjung terlebih saat jam makan siang. Puluhan pengunjung menempati bangku-bangku yang disediakan, menunggu semangkuk Sinonggi panas beserta lauk berupa ikan palu mara, sayur bening, sambal rica-rica dan potongan jeruk yang dihidangkan diatas meja.
Sejak rumah makan ini dibuka setahun lalu, Sinonggi sudah menjadi salah satu menu andalan yang disajikan. Setiap harinya sekitar 4 karung aci sagu dihabiskan untuk diolah menjadi menu Sinonggi. Agar pelanggan tak bosan, menu campuran Sinonggi dibuat bervariatif. “Ada kuah daging ayam dan sapi yang kami sediakan” tutur Ratih, Manager rumah makan.
Satu porsi paket Sinonggi ditempat ini berharga Rp.20.000 sampai Rp.35.000 tergantung pada pilihan menu lauk, ikan, daging ayam, daging sapi. Selain Sinonggi warung makan ini juga menyediakan menu masakan rumahan. Rumah makan ini buka dari pukul 8 pagi sampai jam 10 malam.
Sinonggi dikenal sebagai salah satu makanan khas yang populer di Kota Kendari terbuat dari bahan dasar aci alias saripati pohon Sagu (Metroxylon sp). Untuk pembuatanya hanya dibutuhkan tepung sagu basah yang disiram dengan air panas yang di didihkan dan diaduk pada wadah mangkuk atau loyang dan hanya dalam hitungan menit tepung sagu putih berubah kenyal dan bening, jadilah Sinonggi. Sepintas melihat Sinonggi tak ubahnya seperti lem, bening dan lengket, rasanya pun tawar, sehingga dibutuhkan campuran lain untuk menambah kelezatanya. Lauk yang gurih seperti ikan palu mara, sayur bening dan campuran lauk lainya disantap bersama. Untuk lebih menarik minat, campuran lauk Sinonggi pun di buat bervariatif yang disesuaikan dengan selera. Agar rasanya lebih menggugah, umumnya orang menyantapnya saat masih hangat.
Saat ini Sinonggi dikonsumsi hampir seluruh masyarakat Kota Kendari. Awalnya Sinonggi hanya di konsumsi oleh masyarakat suku Tolaki yang mendiami daratan dan pegunungan daerah Sulawesi Tenggara (Sultra). Berdasarkan penuturan Drs. Muslimin Su’ud S.H, salah satu tokoh masyarakat Tolaki yang juga ketua dewan pakar Lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra, sebelum mengenal Sagu orang-orang Tolaki mengkonsumsi beras dari padi ladang dan Uwi koro sejenis tanaman Ubi liar yang tumbuh di hutan sebagai bahan pangan mereka.
Barulah sekitar abad ke 7 masehi, orang Tolaki yang tinggal di sekitaran sungai Sourere-Napooha, Kecamatan Uluiwoi, Kabupaten Kolaka yang kembali dari perantauan di Pulau Maluku membawa tanaman Sagu yang selanjutnya dikembangkan oleh warga sebagai bahan makanan tambahan. Seiring perjalanan waktu, perkembangan Sinonggi semakin luas dikonsumsi masyarakat lokal. Ini terjadi karena adanya proses asimilasi dan akulturasi masyarakat Tolaki dengan warga pendatang.
Tanaman Sagu dapat ditemukan hampir diseluruh daratan wilayah Sulawesi Tenggara terutama pada daerah rawa dan sungai. Terdapat empat jenis tanaman Sagu yang tumbuh di Sultra dengan nama local Tawaro rui (Metroxylon saguss, rottb), Tawaro runggamanu (Metroxylon rumpi, mart) Tawaro roe dan Boruwilla. Dan jenis Sagu roe-lah yang lebih disukai dan banyak diolah oleh warga setempat karena rasanya manis dan memiliki warna tepung yang putih.
Analisis peneliti dari Jepang beberapa waktu lalu yang datang melakukan riset tanaman Sagu di Sultra seperti yang di ungkapkan Muslimin Su’ud, keunggulan tanaman Sagu di banding tanaman penghasil karbohidrat lainya yakni, pohon sagu dapat tumbuh di daerah rawa dimana tanaman lain tidak dapat berkembang dengan baik, panen sagu juga tidak mengenal musim, pohon sagu mengeluarkan tunas baru tanpa harus ditanam kembali sehingga panen dapat berkelanjutan dan pohon sagu tidak rentan pada hama dan parasit.
Selain Sinonggi, menu lain yang bisa diolah dan dikembangkan dari aci sagu adalah produk makanan jajanan dan snack, seperti bagea, dangi, sako-sako, dan kue kering lainya. Produk-produk jajanan ini pun bahkan menjadi oleh-oleh khas yang biasanya dicari pegunjung yang datang ke kota Kendari.
Meski geliat kuliner yang terbuat dari bahan dasar Sagu di daerah ini mulai diminati masyarakat, sayangnya tanaman Sagu (Metroxylon sp) mulai sulit ditemukan. Data Badan Pusat Statistik (BPS 2007), areal tanaman Sagu yang ada berkisar 5.607 hektar. Kawasan tanaman Sagu mengalami penurunan, dikarenakan tekanan pembangunan, areal tanaman Sagu dikonversi menjadi lokasi pemukiman, areal persawahan, areal perkebunan sawit dan yang terbesar adalah lokasi pertambangan.
Semakin berkurangnya areal tanaman Sagu di daerah ini, disinyalir karena belum adanya komitmen kuat dari semua pihak terutama Pemerintah Daerah, sehingga perlu strategi dalam upaya pengembangan potensi tanaman Sagu di Sultra, ini seperti yang diungkapkan kembali oleh dewan pakar lembaga Adat Tolaki (LAT) Sultra, Muslimin Su’ud. Ya, kekhawatiran Muslimin Su’ud bukan tanpa alasan, kalau luasan tanaman Sagu berkurang bukan tak mungkin, keragaman kuliner Sultra berupa Sinonggi dan kuliner lain berbahan Sagu akan langka seiring berkurangnya areal tanaman Sagu. [***]